Tradisi menginan (makan sirih) sangat populer dalam kehidupan masyarakat di
wilayah Nusantara, pada jaman dahulu kebiasan menginand idlakukan oleh orang-
orang tua laki-laki maupun perempuan. Menginand berguna bagi kesehatan gigi
dan menghilangkan bau mulut yang tidak sedap. Tradisi menginang sering
dikaitkan dengan biasaan tertentu, misalnya untuk menghormati tamu, ataupun
untuk melengkapi upacara tertentu, misalnya upacara perkawinan, sedekah bumi,
kematian dan sebagainya. Ramuan kinang terdiri dari : daun sirih, pinang muda
(gambir), kapur dan tembakau. Oleh karena itu sering dijumpai alat pakinangan
dilengkapi dengan bagian-bagian yang secara khusus dipersiapkan untuk tempat
daun sirih, tempat gambir (pinang), tempat kapur dan tempat tembakau.
Bahan yang digunakan membuat tempat kinangapun bermacam-macam, ada yang
dibuat dari bahan kuningan, perak, kayu dan sebagainya. Pakinangan juga sering
dilengkapi dengan alat khusu untuk menampung ludah yang disebut KECOHAN,
bahkan sering kali disiapkan pula alat khusus yang digunakan untuk membelah
pinan atau gambir yang disebut KACIP.
Koleksi yang dipamerkan :
Pakinangan asal Surabaya
Pakinangan asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
eoccohan asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Kecohanan asal asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Pakinangan asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Kacip asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
TEMPAT TIDUR PETANEN (TEMPAT PEMUJAAN DEWI SRI)
Pada umumnya rumah tradisional Jawa dilengkapi 3(tiga0 sentong / kamar. Kamar
tengah dibiarkan dalam keadaan kosong (tidak digunakan sebagai tempat untuk
tidur), walaupun terkadang dipasang tempat tidur yang cukup bagus. Sentong
tengah ini disebut PETANEN, yaitu suatu tempat yang secara khusus disediakan
untuk Dewi Sri. Dan menurut Metologi Hindhu DEWI SRI dikenal senagai
lambang kesuburan atau dianggap sebagai Dewi Padi,sebagai masyarakat Jawa
yang hidup sebagai petani. Di depan petanen ini pula digunakan untuk upacara-
upacara penting seperti : upacara temu manten/tompo koyo.
Koleksi yang dipamerkan :
Petanen lengkap asal Surabaya
Bokor asal Stedelijk Historisch Musem Surabaya
Klemuk asal Stedelijk Historisch Musem Surabaya
Kecohan asal Stedelijk Historisch Musem Surabaya
Patung Roro Blonyo asal Stedelijk Historisch Musem Surabaya
KERIS
Bagi masyarakat, keris selain berfungsi sengai senjata sekaligus dianggap pusaka
karena mereka beranggapan bahwa keris adalah buatan para Empu sehingga
bertuah.
Bentuk keris ada yan lurus ada pula yang LUK (biasanya ganjil), nama keris
biasanya disesuaikan dengan dapurnya, yaitu bentuk khas dari keris tersebut yang
dapat dilihat bagian pangkalnya, biasanya dilengkapi dengan SARUNG atau
RANGKA, ada yang disebut rangka Ladrangan, ada pula yang disebut rangka
Gayaman.
Koleksi yang dipamerkan :
Keris Ladrangan asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Keris Gayaman asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Keris Dapur (bentuk lurus) asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Keris Dapur (bentuk lurus pamor emas) asal Stedelijk Historisch Museum
Surabaya
Keris Dapur (bentuk Luk) asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Keris Dapur (bentuk luk pamor emas) asal Stedelijk Historisch Museum
Surabaya
Keris Majapahit asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Kudi asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
TOMBAK
Salah satu senjata yang menjadi andalan masyarakat di Jawa diantaranya adalah
tombak. Pada jaman dahulu tomabk hanya dibuat oleh para Empu, sama halnya
dengan keris. Bahan-bahannya berupa baja pilihan dan timah. Dua bahan ini
disatukan dengan cara ditempa dan dilipat secara berulang-ulang. Akibat tempaan
dan lipatan itu maka kedua bahan baku ini menyatu, dan karena kikisan pada
bagian-bagian tertentu dari tombak itu maka munculah pamornya yang beraneka
macam coraknya.
Bagi merka yang percaya, beberapa tombak dianggap bertuah, sehingga ada yang
dianggap dapat menenteramkan pemiliknya atau bahkan mensengsarakan
pemiliknya.
Koleksi yang dipamerkan :
Tombak bersarung asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Tombak tak bersarung asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya
Plangkan asal Stedelijk Historisch Museum Surabaya